• logo nu online
Home Warta Nasional Jakarta Raya Dari Betawi Keislaman Sejarah Opini Literatur Obituari
Minggu, 28 April 2024

Akhlak Tasawuf

Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta

Implementasi Nilai Syukur dalam Konsep Kebahagiaan Perspektif Imam Al-Ghazali

Implementasi Nilai Syukur dalam Konsep Kebahagiaan Perspektif Imam Al-Ghazali
Konsep Kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali. (Foto: NU Online)
Konsep Kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali. (Foto: NU Online)

Dalam penciptaanya, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, baik secara rohani maupun jasmani. Kesempurnaan manusia jika dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain membuat manusia sebagai makhluk paling indah dan paling tinggi derajatnya. Keindahan manusia berpangkal pada diri manusia itu sendiri. Gambaran keindahan diri manusia tidak hanya dari aspek fisiknya namun juga tentang fungsi mental dan berbagai kemampuanya seperti berpikir, mencipta, merasa, dan berkeyakinan. Aspek mental ini menyatu dengan aspek fisik sehingga membentuk diri manusisa yang hidup dan berkembang.(Prayitno dan Erman Amti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 10. 32).


Namun, dengan segala kelebihannya, manusia dituntut untuk menciptakan kehidupan yang seimbang dan serasi di dunia ini, dengan bahagia yang menjadi tujuan utamanya, karena semua manusia mendambakan kebahagiaan dalam kehidupan dunia ini. Kebahagiaan seolah-olah menjadi semacam harapan atau tujuan yang didambakan dalam kehidupan manusia pada umumnya, hal ini tampak dengan adanya realita yang menunjukan bahwa manusia berusaha sekuat tenaga untuk mengupayakan tercapainya kebahagiaan dalam menjalani hidup. Kebahagiaan diharapkan bisa dirasakan tanpa dibatasi oleh waktu maupun tempat tertentu, baik secara personal maupun komunal. Tidak hanya kebahagiaan di dunia, kebahagiaan akhirat juga menjadi dambaan setiap manusia. Bahkan Islam selalu menyertakan doa kebahagiaan pada setiap doa yang dilakukan setelah selesai shalat.


Konsep kebahagiaan telah banyak dibahas melalui berbagai perspektif yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan makna yang berbeda pula. Masalah kebahagiaan merupakan topik yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Sementara kebahagiaan yang didambakan oleh manusia masih berada pada titik yang masih labil. Artinya, dinamika kebahagiaan hidup manusia begitu bervariasi, beraneka ragam dan berbeda antara satu kebahagiaan dengan kebahagiaan yang lain. Mulai dari hakikatnya hingga jalan-jalan yang ditempuh untuk meraihnya.


Ada begitu banyak pandangan dan pendapat mengenai kebahagiaan, bahkan ada sebagian orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan bisa diukur dari seberapa banyak kekayaan materil yang dimilikinya. Sebagian lain juga ada yang beranggapan bahwa unsur bahagia ditemukan dalam kesehatan jasmani. Sebagian meyakini bahwa kebahagiaan terletak pada pangkat, kedudukan, ketenaran. Sebagaimana disebutkan di atas, bahagia tidak memiliki bentuk baku. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak demikian bagi orang lain. Sebab bahagia adalah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing.


Sehubungan dengan pembahasan dambaan kebahagiaan manusia, kehidupan kita saat ini, pada abad ke-21 dianggap sebagai kehidupan yang terdapat sisi suramnya. Dikatakan demikian, karena abad ini banyak ditandai oleh adanya krisis multidimensi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lingkungan, yang melanda serta menimbulkan efek psikologis (kecemasan) pada seluruh masyarakat dunia.

 
Semua krisis tersebut sejatinya berakar dari krisis identitas yang bersumber dari tidak jelasnya jati diri sebagai pribadi. Krisis identitas dan hilangnya jati diri dalam tatanan psikis berkaitan erat dengan tidak jelasnya nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman hidup. Akibatnya, banyak manusia mengalami penderitaan, karena gagal dalam menggapai kehidupan yang bemakna dan berbahagia. [Bastaman H.D, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 48.].


Mereka telah kehilangan harapan akan kebahagiaan masa depan sebagaimana dijanjikan oleh renaisans, abad pencerahan, sekularisme, saintisme, dan teknologisme. Dengan kata lain, manusia modern di abad ke-21 ini telah kehilangan visi spiritualnya. Ia memerlukan wawasan baru agar dapat menemukan kembali visi spiritualnya. Untuk pulih dari penyakit spiritual dan penyakit hati, manusia dituntut untuk mengenali kembali dirinya, identitasnya, dan Tuhannya. 


Berangkat dari persoalan itu, menjadikan alasan penulis untuk mengangkat tema tentang konsep kebahagiaan. Maka tulisan ini akan mencoba menjelaskan lebih jauh tentang konsep kebahagiaan dan cara mencapainya dengan pendekatan pemikiran Al-Ghazali. Kebahagiaan menurut Al-Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Kimia Al-Sa’adah atau Kimia Kebahagiaan dapat dicapai apabila manusia sudah bisa menundukkan nafsu kebinatangannya dalam dirinya, serta menggantinya dengan sifat malaikat. Sementara kebahagaiaan tertinggi adalah ketika manusia telah terbuka hijabnya dengan Allah. Ketika ia bisa melihat Allah dengan mata hatinya. Al-Ghazali juga mewujudkan konsep kebahagiaan dengan cara menekankan pentingnya arti mengenal kepada Allah. Dengan mendekatkan diri kepada Allah manusia akan mendapatkan ketenteraman atau kebahagiaan. [Iin Tri Rahayu, Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer, (Malang:UIN Malang Press, 2009), hlm. 30.] 


Dengan memperhatikan uraian itu, maka dapat dilihat bahwa konsep kebahagian menurut Imam Al-Ghazali memiliki ciri khas tersendiri. Di tengah-tengah masyarakat modern yang galau akan kebahagiaan, perlu kiranya dalam konteks ini menengok konsep kebahagiaan Imam Al-Ghazali. Pandangan Al-Ghazali tentang kebahagiaan patut dieksplorasi lebih mendalam lagi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mempelajari lebih mendalam makna kebahagian dan cara mencapainya menurut Al-Ghazali.


Konsep Kebahagiaan Menurut Al-Ghazali 


Dikatakan dalam The Theory of Happinesss dari Aristoteles, Plato, hingga Aquinas mengungkapkan makna kebahagiaan sebagai kondisi psikologi dan mental yang nyaman, stabil, penuh harapan, dan punya semangat hidup. [Mudhofir Abdullah, Mukjizat Tafakur (Cara Sukses Merengkuh Kebahagiaan dan Puncak Spiritualitas), (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 161.] Hidup yang baik menurut Aristoteles adalah hidup yang bahagia, jadi baik adalah bahagia. Menurut Aristoteles hidup yang bahagia adalah hidup yang sempurna karena memiliki semua hal yang baik seperti kesehatan, kekayaan, persahabatan, pengetahuan, kebajikan atau kemuliaan. Hal-hal yang baik adalah komponen kebahagiaan. Semuanya dicari untuk mencapai kebahagiaan. [Jalaluddin Rakhmat, Meraih Kebahagiaan, (Bandung: Simbiosa Rekamata Media, 2006), hlm. 40-41.].


Hamka menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Modern, derajat bahagia manusia menurut Rasulullah itu sesuai akalnya. Karena akal-lah yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk, akal yang menyelidiki hakikat dan kejadian segala sesuatu yang dituju dalam perjalanan hidup. Bertambah sempurn a, bertambah indah, dan bertambah murni akal maka bertambah pulalah tinggi derajat bahagia yang manusia dapat capai, seperti dalam hadits “kepada kesempurnaan akal lah kesempurnaan bahagia”. [Hamka, Tasawuf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 30.] (Hamka, Tasawuf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 30).


Segala perbedaan dan perubahan tingkatan pandangan hidup manusia itu, timbul karena perbedaan tingkatan akal. Perbedaan pendapat karena perbedaan pengetahuan dan pendidikan. Semakin luas pengetahuan maka bertambah luaslah hidup dan semakin besar kebahagiaan akan datang. Bertambah sempit akal maka bertambah sempit pula hidup dan risiko celaka akan semakin besar datangnya. Perlu kita pahami bahwa segala sesuatu di alam ini baik dan buruknya bukan pada zat sesuatu tersebut, akan tetapi pada penghargaan kehendak kita atasnya, menurut tinggi rendahnya akal kita. [Hamka, Tasawuf Moderen…, hlm. 32-33].


Ibnu Miskawaih membuat perbedaan antara kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan itu sifatnya umum dan merupakan tujuan dari sesuatu, sedangkan kebahagiaan merupakan akhir dari kebaikan, yang kaitannya dengan pemiliknya, sehingga bersifat relatif berbeda dengan orang yang mengupayakannya dan esensinya tidak pasti. 


Dengan demikian, Ibnu Maskawaih menyimpulkan kebahagiaan adalah kebaikan yang paling utama dan sempurna di antara seluruh kebaikan, serta menjadi tujuan akhir dari kebaikan. Mengenai kebahagiaan sempurna, Ibnu Maskawaih berpendapat bahwa kebahagiaan tertinggi dapat diraih ketika manusia dapat menyatukan antara kebutuhan jasmani dan rohaninya yang diistilahkan dengan alam rendah dan alam tinggi. Namun jika tidak mencapai dua tingkatan tersebut maka manusia akan berada pada derajat binatang, karena kebaikan tidak ada pada binatang dan tidak diberikan kemampuan mencapai tingkatan-tingkatan itu, sedangkan manusia diseru dan diberi akal untuk mencapainya. [Fuadi, Refleksi Pemikiran Hamka Tentang Metode Mendapatkan Kebahagiaan, Jurnal ArRaniry, Vol. 20, No. 1, April 2018, hlm. 20].


Al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Tentang kebahagiaan Al-Ghazali mengemukakan teorinya dalam karyanya, Kimia Al-Sa'adah. Di samping itu teori kebahagiaan ini juga telah dikemukakannya secara terperinci dalam Ihya Ulumuddin. Menurut Al-Ghazali, jalan menuju kebahagiaan adalah ilmu dan amal. Ia menjelaskan bahwa seandainya anda memandang ke arah ilmu, anda niscaya melihatnya bagaikan makanan yang begitu lezat. Sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya. 


Anda pun niscaya mendapatkannya sebagai sarana menuju akhirat serta kebahagiannya dan sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah. Namun, hal ini mustahil tercapai kecuali dengan ilmu tersebut. Hal yang paling tinggi peringkatnya, sebagai hak umat manusia adalah kebahagiaan abadi. Sementara yang paling baik adalah sarana ilmu tersebut yaitu amal yang mengantarnya kepada kebahagiaan tersebut. Jadi, asal kebahagiaan di dunia dan akhirat sebenarnya ilmu.


Al-Ghazali menjelaskan bahwa segala sesuatu memiliki rasa bahagia, nikmat dan kepuasan. Rasa nikmat akan diperoleh bila melakukan semua yang diperintahkan oleh tabiatnya. Tabiat segala sesuatu adalah semua yang tercipta untuknya. Kenikmatan mata pada gambar-gambar indah, kenikmatan telinga pada bunyi-bunyi yang merdu dan demikian semua anggota badan. Kenikmatan hati hanya dirasakan ketika mengetahui Allah (ma'rifatullah). Sebab ia diciptakan untuk melakukan hal itu.


Semua yang tidak diketahui manusia, tatkala ia mengetahuinya maka ia akan berbahagia. Manusia yang telah sampai pada ma’rifat Allah akan merasa senang dan tak sabar untuk menyaksikan-Nya, sebab kenikmatan hati adalah ma’rifat. Setiap kali ma’rifat bertambah besar, maka nikmat pun bertambah besar pula. Karenanya, ketika manusia mengetahui sang menteri, maka ia akan senang, lebih-lebih jika tahu sang raja, maka kebahagiaannya tentu besar lagi. 


Menurut Aristoteles, kebahagiaan dibagi menjadi lima bagian, yaitu: (1) kebahagiaan yang terdapat pada kondisi sehat badan dan kelembutan indrawi; (2) kebahagiaan karena mempunyai kerabat; (3) kebahagiaan karena mempunyai nama baik dan termasyhur; (4) kebahagiaan karena sukses dalam berbagai hal; (5) kebahagiaan karena mempunyai pola pikir yang benar dan punya keyakinan yang mantap. Menurut Aristoteles, dengan tercapainya kelima hal tersebut maka barulah manusia akan mencapai bahagia yang sempurna. [Fuadi, Refleksi Pemikiran Hamka Tentang Metode Mendapatkan Kebahagiaan, Jurnal Ar-Raniry, Vol. 20, No. 1, April 2018, hlm. 19].


Menurut Hamka, Islam mengajarkan pada manusia empat jalan untuk mencapai kebahagiaan. Pertama harus ada i’tiqad, yaitu motivasi yang benar-benar berasal dari dirinya sendiri. Kedua yaqin, yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya. Ketiga iman, sesuatu yang lebih tinggi dari sekadar keyakinan sehingga perlu adanya bukti lisan dan perbuatan. Terakhir adalah addin, yaitu penyerahan diri secara total pada Allah, penghambaan diri yang sempurna. Artinya, manusia menjalankan segala sesuatu dalam hidupnya secara ikhlas dan tidak merasa sedih berlebihan ketika keinginanya tidak sesuai rencana lantaran Allah lebih tahu jalan yang terbaik untuknya.


Implementasi nilai syukur mencapai kebahagiaan


Penerapan sikap addin atau penyerahan diri secara total pada Allah sebagai salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan, yang artinya manusia menjalankan segala sesuatu dalam hidupnya secara ikhlas dan tidak merasa sedih berlebihan ketika keinginannya tidak sesuai rencana lantaran Allah lebih tahu jalan yang terbaik untuknya, sangatlah berat untuk dilakukan. 


Sebab salah satu sifat yang dimiliki manusia adalah selalu merasa kurang dengan apa yang didapat dan dimiliki, ingin rasanya memiliki apa yang dimiliki orang lain, dalam kata lain manusia sulit untuk mensyukuri apa adanya sehingga manusia sulit untuk mendapat kebahagiaan sebab ia tidak memberi kebebasan pada dirinya sendiri yang menjadikan hatinya selalu merasa tidak puas, ingin yang lebih dan tidak bisa totalitas menikmati nikmat yang telah diberikan oleh Allah.


Bahwasanya dalam pembahasan syukur sebagai bentuk penerapan sikap addin ini Imam Ghazali menyebutkan, syukur itu tersusun dari tiga hal, yaitu ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan). Ilmunya ialah dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diterimanya itu semata-mata dari Allah SWT. Keadaannya adalah menyatakan kegembiraan karena memperoleh kenikmatan. Amalnya adalah menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan serta yang dicintai oleh Allah SWT yang memberi kenikmatan itu untuk dilaksanakan. Syukur juga bisa dari berbagai bentuk, Syukur dalam bentuk amal berkaitan dengan amalan hati, anggota badan, dan lisan. Kaitannya dengan hati adalah sengaja berbuat kebajikan dan merahasiakannya kepada seluruh makhluk. Hubungannya dengan lisan adalah mengucapkan pujian, hamdalah, yakni mengucapkan "alhamdulillah" (segala puji bagi Allah). Kaitannya dengan anggota badan adalah mempergunaan kenikmatan itu untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah SWT, tidak mempergunakannya untuk berbuat maksiat. Jadi, dengan mengamalkan hal-hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari tandanya kita sudah menerapkan sifat syukur dalam kehidupan. 


Syukur akan menjadikan segala sesuatu terasa ringan dan menyenangkan, karena itulah syukur termasuk sarana memperoleh kebahagiaan. Sebab dengan syukur, hati dan pikiran akan bersih dari beban, tidak terasa sesak akan hal-hal yang tidak semestinya kita pikirkan. 


Sementara bahagia tidak melulu seputar harta yang berlimpah, rumah yang megah, atau punya barang-barang mewah. Namun, bahagia dapat kita rasakan dengan cara yang sederhana, yaitu dengan syukur sehingga hati akan merasa cukup dan puas dengan apa yang ada, bahkan dengan syukur akan menjadikan nikmat bertambah sehingga kebahagiaan jasmani maupun rohani akan lebih mudah dicapai.


Kaitanya dengan ilmu dan amal dalam konsep kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali syukur adalah salah satu bentuk kolaborasi antara keduanya. Syukur sebagai ilmu adalah aspek manusia untuk bisa menerima apa adanya dan menikmati apa pun yang telah Allah berikan kepada manusia sesuai porsinya masing-masing, sedangkan syukur sebagai amal terdapat pada ketaatan kita terhadap perintah Allah untuk selalu bersyukur atas apapun. Sampai-sampai Allah SWT menjanjikan, amalan syukur disertai iman adalah penghalang turunnya siksa Allah di muka bumi ini.


Sebuah bangsa tidak akan mengalami krisis atau kesulitan jika mereka beriman dan bersyukur. Tidaklah Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman (QS  An-Nisa: 147). Dia pun akan terus menambah kenikmatan itu jika kita pandai mensyukuri nikmat yang sudah diberikan-Nya (QS Ibrahim: 7).


Kebahagiaan lain yang dapat dihasilkan dari rasa syukur adalah bisa mempererat hubungan pertemanan, sehingga kebahagiaan akan secara sempurna dirasakan dengan suasana lingkungan sosial yang terjaga keharmonisannya. Hal ini dapat dilihat dalam hasil penelitian yang dimuat di jurnal ilmiah Emotion, edisi Juni 2008 dengan judul “Beyond reciprocity: gratitude and relationships in everyday life” (Lebih dari sekadar hubungan timbal balik: sikap bersyukur dan persahabatan dalam hidup keseharian). 


Penelitian itu menunjukkan bahwa sikap berterima kasih atau bersyukur mendorong terjalin dan terbinanya persahabatan antar manusia. Inilah kesimpulan S.B. Alqoe dkk. asal University of Virginia, Amerika Serikat (AS). Dalam karya ilmiah itu para ilmuwan meneliti peran sikap bersyukur atau berterima kasih yang muncul secara alamiah dalam perkumpulan mahasiswa di perguruan tinggi selama acara “Pekan Pemberian Hadiah” dari anggota lama kepada anggota baru. Para anggota baru mencatat tanggapan atas manfaat yang mereka dapatkan selama pekan tersebut. 


Selain jalinan persahabatan yang baik, sikap bersyukur kini terbukti secara ilmiah memicu pula aneka manfaat lain. Di antaranya manfaat kesehatan jasmani, rohani dan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Tidak heran jika “gratitude research” atau “penelitian tentang sikap bersyukur” menjadi salah satu bidang yang banyak diteliti ilmuwan abad ke-21 ini. 


Pribadi-pribadi yang bersyukur dilaporkan memiliki sifat materialistis yang rendah. Mereka tidak begitu menaruh perhatian penting pada hal-hal yang bersifat materi. Mereka cenderung tidak menilai keberhasilan atau keberuntungan diri mereka sendiri dan orang lain dari jumlah harta benda yang mereka kumpulkan sehingga menjadikan mereka merasa bahagia dan cukup dengan kehidupan sederhana.


Jadi, jika kita benar-benar sadar maka kita akan menemukan jalan termudah untuk mencapai kebahagiaan yakni dengan menerapkan sikap syukur dalam kehidupan sehari-hari. Sebab dengan syukur semua yang kita miliki akan terasa cukup sehingga hidup akan lebih ringan dan kita mudah merasakan bahagia dengan cara yang sederhana. 


Artikel di atas merupakan karya dari Siti Nur Hamidah, peserta lomba artikel dalam rangka Harlah 1 Tahun NU Online Jakarta.


Akhlak Tasawuf Terbaru